I.
Latar
Belakang
Dampak globalisasi dirasakan di
semua lini kehidupan manusia, tidak terkecuali dari segi pendidikan.
Globalisasi juga memberikan dampak tersendiri bagi dunia pendidikan. Aspek pendidikan
dan pengasuhan adalah salah satu aspek penting yang terkadang kalah popupler
dibandingkan dengan aspek-aspek lain seperti aspek ekonomi, sosial, budaya, dan
lain sebagainya. Padahal, dampak globalisasi dalam bidang pendidikan dan
pengasuhan adalah hal yang sangat penting untuk diantisipasi dan dipersiapkan,
karena dunia pendidikan erat sekali kaitannya dengang keberhasilan satu
generasi untuk dapat menjawab tantangan jaman dan menggenggam dunia.
Dalam makalah kali ini, penulis tertarik
untuk membahas dampak globalisasi dalam dunia pendidikan dan pengasuhan, karena
penulis adalah orang tua. Orang tua yang memiliki anak-anak yang akan beranjak
dewasa dan bertumbuh seiring dengan perkembangan jaman. Satu pertanyaan besar
yang terlintas adalah, bagaimana anak-anak ini akan berhasil menjadi manusia
dewasa yang utuh dan siap untuk berkompetisi di era global? Modal dan bekal apa
sajakah yang perlu dipersiapkan?
II.
Pembahasan
Globalisasi
adalah satu kata yang tidak lepas dari keseharian kita di masa sekarang ini.
Globalisasi adalah hal yang tidak dapat dipungkiri atau dihindari seiring
dengan kemajuan jaman dan berkembangnya pola pikir umat manusia di dunia.
Menurut Anggara (2013) “Globalisasi diambil dari kata global, yang maknanya
ialah universal. Globalisasi adalah proses penyebaran unsur-unsur baru
khususnya yang menyangkut informasi secara mendunia melalui media cetak maupun
elektronik”.
Menurut
Selo Soemardjan, globalisasi merupakan
suatu proses terbentuknya sistem organisasi dan komunikasi antar masyarakat di
seluruh dunia untuk mengikuti sistem dan kaidah-kaidah tertentu yang sama. Globalisasi adalah
suatu proses di mana orang, perusahaan, dan pemerintah dari berbagai negara
berinteraksi dan berintegrasi melalui perdagangan dan investasi internasional
berdampak pada lingkungan, budaya, sistem politik, perkembangan ekonomi, dan
kesejahteraan fisik manusia dalam masyarakat di seluruh dunia.
Secara sederhana, globalisasi punya beberapa
kata kunci, yaitu sistem, negara, sama atau serupa. Atau dapat juga dikatakan
bahwa Globalisasi adalah tersebar luasnya pengaruh ilmu pengetahuan dan
kebudayaan yang ada di setiap penjuru dunia ke penjuru dunia yang lain sehingga
tidak jelas lagi batas-batas yang jelas dari suatu negara.
Lalu, apa dampaknya pada apek pendidikan dan
pengasuhan? Ada setidaknya 3 hal yang penulis soroti.
1.
Arus informasi yang sangat deras masuk ke dalam
negeri, seiring dengan semakin populernya internet di berbagai kalangan. Hal
ini ditunjang juga dengan kemudahan
dalam mengakses informasi pendidikan. Internet memberi kemudahan bagi pendidik
dan peserta didik untuk mengakses materi belajar, hadirnya situs-situs buku
digital yang dapat diunduh dan dijadikan referensi dalam proses belajar
mengajar
2.
Kemudahan
dalam mengakses informasi pendidikan secara langsung bisa meningkatkan kualitas
dari tenaga pendidik. Kemudahan ini dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh
guru, karena saat ini guru bisa leluasa melihat trend pembelajaran di
dunia, serta mencari referensi-referensi dari negara maju di dunia yang berguna
dalam proses belajar mengajar. Dengan memaksimalkan teknologi dan informasi di
era globalisasi, kualitas pengajar akan terus meningkat.
3.
Akibat
dari pesatnya arus globalisasi, metode pembelajaran yang awalnya bersifat
sederhana kini berubah menjadi metode pendidikan berbasis teknologi. Kemajuan
teknologi yang semakin canggih ternyata memberi dampak positif bagi peningkatan
kualitas pendidikan. Sebagai contoh, pada zaman dahulu seorang guru harus
menulis di papan tulis dengan menggunakan kapur. Kini dengan adanya teknologi,
guru bisa memanfaatkan komputer dan internet untuk menggabungkan tulisan, gambar,
suara, video bahkan film untuk menyampaikan materi.
Sebagaimana dimaklumi bersama bahwa
di era globalisasi ini terdapat berbagai dampak pada masyarakat, baik yang
positif maupun yang negatif. Implikasi positif globalisasi diantaranya
perkembangan teknologi yang semakin canggih sehingga mempermudah seseorang
untuk memperoleh berbagai informasi yang tidak terbatas. Informasi dapat berupa
hiburan, pengetahuan dan teknologi, yang diperoleh dari berbagai saluran
diantaranya: Televisi, video, film-film, internet dan sebagainya. Berbagai
kemudahan informasi memang memuaskan keingintahuan kita serta dapat mengubah
nilai dan pola hidup seseorang, termasuk sikap orang tua terhadap anaknya dan
pola asuh yang diterapkan dalam mendidik anak.
Begitu pula dengan kaitannya dalam
bidang pengasuhan. Arus informasi yang datang dari seluruh penjuru dunia
membagi orang tua dan figure pengasuh ke beberapa kelompok.
1.
Kelompok
pertama yang adalah pendidik dan pengasuh yang clueless tentang
globalisasi. Mereka tidak tahu harus bersikap apa. Hasilnya, kemungkinan besar
masih akan mengadopsi pola-pola lama pengasuhan yang cenderung kurang tepat
diimplementasikan di masa sekarang. Seperti pola pengasuhan yang otoriter, dan
direktif.
2.
Kelompok
yang kedua adalah kelompok yang sudah lebih aware
terhadap globalisasi, berusaha catch up dengan globalisasi. Namun merasa
kewalahan dengan banyaknya alternatif pola pengasuhan yang ada. Melihat dari
berbagai penjuru dunia, dan berusaha mengadopsi secara parsial. Kelompok ini
merasa bahwa informasi yang didapatkan sangat banyak dan membuat mereka overload.
Kelompok ini biasanya akan menjadi kelompok pengasuh yang kurang konsisten dan
mudah terbawa arus.
3.
Kelompok
ketiga adalah kelompok yang aware dengan globalisasi dan apa-apa yang
perlu dilakukan, namun merasa tidak capable dalam menerapkan pola
pengasuhan seperti itu. Hal ini terjadi karena bisa jadi pengasuh merasa bahwa
ilmu ilmu pengasuhan dari luar sangat jauh ‘di awang2’ dan sulit jika
diterapkan di kondisi kita. Atau bahkan, pendidik merasa tidak capable
dalam mengantar anak-anak memasuki gerbang globalisasi.
Satu hal yang seringkali disalah
artikan, bahwa ketika kita dihadapkan pada kata globalisasi, menyiapkan
anak-anak untuk siap bersaing di era globalisasi, maka yang terbayang dalam
benak adalah menjejalkan sebanyak-banyaknya ilmu pengetahuan kepada mereka.
Anak-anak harus tahu segala hal. Anak anak harus pandai dan cemerlang dalam
mata pelajaran apapun.
Di sisi lain, perubahan ke arah
globalisasi tidak berlangsung serta merta. Telah banyak yang terjadi sehingga
kita semua berada di titik Sekarang ini. Perubahan yang mengarah pada era
globalisasi ini sangat dipengaruhi oleh era-era revolusi pada abad 18, 19 dan
20.
Pada abad 18, adalah awal dari
revolusi industri. Dimulai dari diciptakannya mesin-mesin yang dapat mempermudah
kerja manusia. Alat-alat bantu ditemukan, seperti mesin jahit, alat pintal,
alat transportasi dan lain-lain. Sehingga perubahan yang terjadi pada revolusi industri
perlahan menghasilkan perubahan pada willing. Ketika sebelumnya segala
sesuatunya harus dilakukan sendiri, perlahan bergeser dan beberapa hal dapat
digantikan perannya oleh mesin dan alat-alat. Segalanya menjadi lebih mudah dan
memerlukan usaha yang semakin sedikit dari manusia.
Penemuan-penemuan ini juga merubah
banyak hal dalam interaksi manusia. Perubahan kedalam diri manusia, dimana
menjadi perubahan pada feeling atau perasaan. Manusia mulai merasa perlu
berkehidupan lebih terpisah. Manusia memilih untuk menjadi lebih introvert dan
individualis. Didukung dengan semua yang serba mudah dan tampak tidak
memerlukan bantuan orang lain. Sehingga peranan perasaan dalam hubungan sosial
semakin berkurang, karena kurangnya interaksi sosial.
Lalu pada abad 21 ini, kita sedang
menghadapi revolusi besar yang berpengaruh pada thinking. Kita sangat
dimudahkan untuk tidak lagi menggunakan otak dan hati kita untuk berpikir untuk
memilih apa-apa yang kita sukai atau kita kehendaki. Semua pilihan dengan cepat
tersaji, dan kemudian teknologi dengan mudah dapat memilihkannya untuk kita.
Bahkan untuk memilih rute perjalanan saja, saat ini tidak jarang kita merelakan
thinking kita digantikan oleh google maps.
Inilah realita kehidupan kita
sekarang. Bahkan sebelum anak-anak kita menjadi dewasa dan mempunyai peran
peradaban, willing, feeling dan thinking mereka sudah semakin
terkikis dan tumpul. Berangkat dari hal tersebut, maka pendidikan dan
pengasuhan anak di era globalisasi sebaiknya hadir untuk mengasah lagi ketiga
hal tersebut. Pendidikan yang diperlukan untuk generasi yang akan datang,
adalah pendidikan yang mempertajam kembali tiga hal yang sudah hampir hilang
ditelan revolusi tersebut.
Persiapan dalam menghadapi
tantangan dunia di era globalisasi ini adalah bukan hanya bagaimana menyiapkan
pendidikan untuk generasi muda, namun lebih dari itu bagaimana kita sebagai
individu dewasa dapat bertumbuh. Karena beban pendidikan bukan hanya pada anak
dan siswa saja, melainkan perubahan dalam diri kita sebagai orang tua, pengasuh
dan pendidik yang mengawali ini semua. Mengasuh dan mendidik anak di era global
tidak semata-mata menjadikan ilmu pengetahuan sebagai satu-satunya indicator
keberhasilan. Anak dengan banyak inputan ilmu yang dijejalkan tidaksama artinya
dengan anak yang siap berkompetisi di era global.
Jika menilik dari hal diatas, maka anak-anak
perlu dipersiapkan untuk bersaing di era globalisasi. Beberapa kriterianya,
antara lain adalah :
1.
Siap
untuk menjadi pembelajar yang mandiri. Artinya, dia siap mencari ilmu
pengetahuan dimana saja, kapan saja, dengan siapa saja dan kepada siapa saja. Menuntut
ilmu semestinya tidak dibatasi oleh dinding sekolah. Mengambil spirit belajar Ki
Hajar Dewantoro, bahwa pendidikan yang baik adalah pendidikan yang
memerdekakan. Memerdekakan artinya memberikan kebebasan kepada manusia untuk
mengambil ilmu secara merdeka dan mandiri. Jika kita berbicara pada tataran pendidikan
formal, maka ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Menteri Pendidikan Nadiem
Makarim tentang merdeka belajar. Pada beberapa universitas bahkan sedang diuji
coba untuk mewajibkan menyelipkan SKS kosong yang bisa digunakan mahasiswa
untuk belajar tentang apapun yang ia minati, yang bahkan tidak sesuai dengan
bidang keilmuan yang sedang ia tempuh. Nantinya akan kita temui serang dokter
yang punya skill akuntansi misalnya, atau seorang insinyur desain lanskap yang
paham juga tentang bagaimana beternak lele, karena saat sekolah merekapun
belajar tentang itu. Sedemikian pula merdeka.
2.
Mempunyai
willing, feeling dan thinking yang cakap, sejalan dengan rasa
empati yang terawat. Masih merujuk perkataan Menteri Nadiem Makarim, bahwa semua
orang boleh bercita-cita menjadi apa saja, dengan tidak menganggu kemerdekaan orang
lain. Boleh menjadi apa saja, namun tidak menganggu kemerdekaan orang lain.
Boleh menjadi apa saja, artinya anak sedang difasilitasi untuk memiliki kehendak,
eager, persisten, dan grit. Dan untuk bisa jadi apa saja, anak-anak juga
perlu memiliki kapasitas yang jelas dan terukur untuk mewujudkannya. Dan tidak
mengganggu kemerdekaan orang lain, artinya ia sedang berempati, bersepakat
dengan orang lain, berkolaborasi dan mencari solusi menang-menang. Dua hal yang
bertentangan, tetapi jika bisa diaplikasikan beriringan akan berbuah sesuatu
yang indah dan harmonis.
3.
Berproses
menjadi manusia dewasa seutuhnya. Manusia dewasa, adalah sanggup (mau dan
mampu) mengambil kepututsan-keputusan mandiri berdasarkan pertimbangan resiko.
Dalam menghadapi masalah dan situasi sulit, manusia dewasa bisa memetakan
pilihan-pilihan alternatif keputusan sekaligus dengan resiko yang dihadpi bila
ia memilih opsi A, B atau C. dan Ketika ia memutuskan untuk memilih salah satu
opsinya, maka secara sadar ia sudah dapat menerika resiko yang akan terjadi.
Pertanyaan selanjutnya adalah, dimanakah
tempat paling baik untuk membekali anak-anak akan kompetensi-kompetensi
tersebut? Apakah rumah, sekolah, pesantren, lingkungan, atau mana?
Rasanya boleh dijawab masing-masing
dan diresapi. Namun ijinkan penulis ingin mendefinisikannya menggunakan pepatah
kuno, it takes a village to raise a child. Semua yang terlibat dalam kehidupan
seorang anak, sangat berperan untuk mendidi, mengasuh dan menjadikan ia menjadi
manusia dewasa. Orang tuanya, gurunya, temannya, tetangganya, satpam
kompleksnya, guru mengajinya, dan lain-lain. Namun spotlight penulis
arahkan ke rumah. Rumahlah salah satu tempat terbaik dalam mengasah dan mengisi
kompetensi ini. Mengapa?
1.
Orang
tua dan pengasuh di rumah adalah orang yang paling bertanggung jawab atas amanah
ini. Sebagian besar waktu anak-anak mereka habiskan di rumah. Maka, orang tua
dan pengasuh di rumahlah yang paling tahu banyak mengenai anak-anak mereka.
2.
Karena
pendidikan karakter hampir tidak tersentuh oleh pendidikan formal. Memang tidak
semua pendidikan formal abai dan lalai pada pendidikan karakter, namun sejauh
pengamatan penulis, pendidikan karakter masih diberi porsi jauh lebih sedikit di
sekolah. Sekolah seolah mempunyai tugas besar dalam mengantar anak didiknya
menjadi ahli dalam bidang keilmuan dan pengetahuan.
3.
Al
ummu madrosatul ula. Ibu adalah sekolah pertama dan utama bagi anaknya. Jika
ibu mempersiapkan dengan baik, maka sama halnya engkau persiapkan abngsa yang
baik pokok dan pangkalnya. Hal ini dungkapkan oleh penyair kenamaan, Hafiz
Ibrahim. Seorang ibu yang memiliki Pendidikan yang baik, dan dapat merawat
anak-anaknya dengan penuh kasih sayang akan menghasilkan anak-anak yang baik
pula. Semakin banyak ibu yang sadar dan hadir dalam perannya, tentu saja akan semakin
kuat pondasi bangsa.
III.
Kesimpulan
Globalisasi
adalah satu kata yang tidak lepas dari keseharian kita di masa sekarang ini.
Globalisasi adalah hal yang tidak dapat dipungkiri atau dihindari seiring
dengan kemajuan jaman dan berkembangnya pola pikir umat manusia di dunia.
Dampak globalisasi dirasakan di semua lini kehidupan manusia, tidak terkecuali
dari segi Pendidikan. Dampak positif globalisasi antara lain, memberi kemudahan
bagi pendidik dan peserta didik untuk mengakses materi belajar. Kemudian,
globalisasi berdampak pula terhadap meningkatnya kualitas tenaga pendidik dan
pergeseran cara belajar. Berangkat dari hal ini, maka pendidikan karakter masa
kini sebaiknya setidaknya mencakup tiga hal, yaitu anak siap untuk menjadi
pembelajar mandiri. Lalu, selanjutnya, anak diajak untuk mengasah willing,
feeling dan thinkingnya agar tetap tajam dan efektif. Selain itu, anak perlu
untuk berproses menjadi dewasa seutuhnya, sehingga dapat membuat keputusan mandiri berdasarkan
pertimbangan resiko. Dengan setidaknya tiga hal ini, diharapkan anak-anak dapat
menjawab tantangan jaman dalah era globalisasi.
Rumah
adalah tempat yang paling beralasan untuk menjakankan pendidikan karakter ini.
Karena orang tua khususnya ibu, adalah sekolah pertama dan utama bagi
anak-anaknya. Kemudian, karena besar waktu anak-anak mereka habiskan di rumah.
Maka, orang tua dan pengasuh di rumahlah yang paling tahu banyak mengenai
anak-anak mereka. Selain itu, pendidikan karakter masih terasa diberi porsi
jauh lebih sedikit di sekolah jika dibandingkan dengan pendidikan formal
berbasis keilmuan.